Jihad Tidak Sama Dengan Terorisme

Jumat, 09 April 2010

Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan (termasuk Islam). Akan tetapi ketika terjadi ketegangan atau konflik, agama kerap kali dijadikan alat legitimasi. Sehingga tidak jarang agama (Islam) dimusuhi, dibenci, disisihkan bahkan diperangi. Hal ini juga dialami para pemeluknya, termasuk 17 aktivis Islam yang dituduh sebagai teroris yang kemudian ditangkap meski hukum acara yang dipraktekkan oleh penegak hukum menyalahi KUHAP.

Agaknya itulah fenomena yang dihadapi Islam saat ini. Pasca tragedi WTC, pengeboman Legian-Kuta- Bali, pengeboman hotel JW Marriot mau tidak mau, Islam khususnya kaum fundamentalis dijuluki sebagai teroris untuk kesekian kalinya. Hal ini seolah mendapat justifikasi ketika para sosok fundamentalis seperti Usamah bin Laden, Abu Bakar Ba’asyir, Imam Samudera dan kawan-kawannya dijadikan tersangka dan dijatuhi vonis atas tindak kriminal tersebut.

Di sisi lain ada pihak yang melegitimasi tindakan tersebut dengan menganggapnya sebuah perjuangan suci (jihad), diridhai Tuhan, sehingga bebas dari dosa. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa seakan Islam memuat doktrin-doktrin suci yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan.

Maka, secara langsung atau tidak dengan bantuan pers Barat, dapat menggiring opini masyarakat, terutama kalangan barat (non muslim) bahwa Islam adalah agama yang patut dibasmi karena ajarannya sarat dengan kekerasan. Sehingga tidak mengherankan kalau akhirnya mengundang reaksi kalangan Barat utuk merubah paradigma, war againts terrorisme menjadi, war againts Islam.

Sungguh ironis, bagaimana mungkin Islam sebagai rahmatan lil alamin, sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, diberi ajektif sebagai agama para teroris hanya karena pemahaman yang kurang tepat akan arti fundamentalisme dan makna Jihad. Keduanya dianggap sebagai momok oleh dunia Barat.

Pada dasarnya fundamentalisme dilihat dari perspektif teologis adalah sebagai bentuk penghayatan seseorang atas ajaran agamanya dan pendasaran seluruh pandangan dunianya, nilai-nilai hidupnya pada ajaran agamanya dengan memahaminya secara skipturalis (Suseno.2002). Sedangkan terorisme adalah berbagai bentuk tindakan yang bertujuan untuk menebarkan ketakutan, keresahan dalam masyarakat dalam bentuk intimidasi.

Menurut Goddard (2002), fundamentalisme mempunyai banyak arti dilihat dari perspektif yang berbeda. Secara teologis, ia berarti paradigma mengenai kitab suci dan bagaimana paradigma tersebut terbentuk. Secara filosofis, ia berarti suatu paradigma yang mengecam studi kritis terhadap kitab suci. Secara sosiologis ia terkait dengan fenomena sektarianisme yang menganggap bahwa people outgroup bukan orang yang beriman. Dalam perspektif historis ia berarti sebuah bentuk keagamaan yang konservatif atau kembali pada asal-usul keimanan. Dan secara politik ia berarti revolusi atas nama agama, dengan kata lain seseorang atau sebuah kelompok dianggap sebagai kaum Fundamentalis apabila mereka menentang pemerintah yang sekuler dan pro-Barat.

Jadi menurut Goddard, penggunaan kata fundamentalisme tidak bisa digunakan secara sembarangan karena terkait dengan perspektif yang digunakan. Seorang muslim atu kristen bisa disebut sebagai fundamentalis di satu sisi dan tidak dari sisi yang lain.

Disamping itu hal yang dianggap momok oleh dunia Barat adalah Jihad. Memang selama ini term Jihad kerap disalah pahami, baik oleh kalangan umat Islam maupun oleh kalangan Barat (non muslim). Sebenarnya, jihad menempati posisi yang sangat urgen dalam Islam sebagai mekanisme defensif {mempertahankan diri}.

Tetapi tidak jarang jihad dimaknai dan dipraktekkan sebagai alat untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Jihad yang mempunyai makna yang cukup luas, kemudian direduksi dan dipahami sebagi perang fisik semata. Akhirnya tidak heran ketika orang mendengar kata jihad yang terbayang adalah kemarahan membabi buta, lepas dari nilai etika dan syariah disertai pekik Allahu Akbar.

Menurut Wahbah Zuhaily dalam fiqh al islamy wa adillatuh, jihad berasal dari bahasa Arab yang berarti pengerahan seluruh potensi dalam menangkis serangan musuh, baik musuh yang berwujud manusia yang memerangi Islam, setan {segala bentuk kebatilan} atau diri sendiri {hawa nafsu}. Selain itu jihad juga mencakup segala bentuk usaha yang maksimal dan optimal untuk penerapan dan penegakan Islam, pemberantasan kedzaliman, ketidakadilan terhadap diri pribadi maupun masyarakat secara umum. Dalam bahasa Qur’an populer dengan istilah amar maruf nahi munkar.

Menurut M.Quraish shihab (1998) yang tidak berbeda dengan Ibnu Qayyim, ada tiga bentuk jihad berdasarkan pelaksanaannya :

Pertama, jihad mutlak yaitu berupa peperangan fisik melawan musuh dengan syarat peperangan tersebut harus dilakukan karena faktor defensif dan tidak berlebih-lebihan (QS.2: 190), untuk menghilangkan fitnah {QS.2:193}, untuk menciptakan perdamaian {QS.8:61}, dan untuk mewujudkan kemaslahatan dan keadilan (QS.60:8).

Kedua, jihad hujjah, Ibn Taimiyah menyebutnya sebagai al jihad bi al ilm wa al bayan (jihad dengan ilmu pengetahuan dan argumentasi). Oleh karena itu, jihad model ini mencakup perjuangan dalam hal intelektual (ijtihad) atau bisa berbentuk dialog atau diskusi argumentatif dengan pemeluk agama lain (QS.58:11), (QS.3:7), (QS.4:162).

Ketiga, jihad amm yang mencakup perjuangan di semua aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial dan bidang kehidupan lainnya.

Selain itu, seperti halnya diriwayatkan oleh Baihaqi dari jabir bin Abdillah bahwasanya rasul membagi bentuk jihad menjadi dua yaitu jihad akbar (perang melawan diri sendiri/hawa nafsu) dan jihad asghar (perang fisik).

Jadi, jihad bukanlah sekedar perang disertai pekik Allahu Akbar, Lebih dari itu, jihad merupakan suatu bentuk konsekwensi religius. Jihad bukanlah sebuah mekanisme balas dendam atau sebuah bentuk ekspresi kemarahan yang menggila dan membabi buta. Tetapi jihad adalah upaya maksimal dan optimal untuk menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan, serta membebaskannya dari segala bentuk eksploitasi, kedzaliman, kebatilan dan ketidakadilan.

Jadi, penegakan dan pelaksanaan jihad jika diartikan sebagai perang, maka tidak boleh lepas dari sejumlah aturan etika, moralitas, aturan kemanusiaan serta tidak boleh keluar dari koridor syariah (QS.8:39), (QS.2:190).

Anallisa wacana jihad di atas bermaksud untuk membuktikan bahwa konsep jihad bukanlah terorisme. Akhirnya diperlukan suatu usaha untuk menghadirkan Islam yang ramah dan membebaskan Islam dari ajektif sarang teroris. Diantaranya,

Pertama; yang perlu dilakukan bukanlah menghapuskan konsep jihad atau menghapus mata pelajaran fiqh al jihad dari kurikulum pesantren atau lembaga-lemgaga pendidikan Islam. Melainkan sangat diharapkan kepada para ulama, dai, para pendidik atau pengajar agar tidak menghadirkan makna jihad sebagai perang fisik semata kepada umat atau anak didik mereka.

Selain itu diharapkan kepada meraka agar menghadirkan ayat-ayat dan hadits yang berkaitan dengan jihad secara komprehensip dan bukan secara snapshot. Karena ayat-ayat tersebut saling berkaitan dan saling menjelaskan satu sama lain. Akan sangat berbahaya jika ayat-ayat tersebut dihadirkan secara sepotong-sepotong..

Kedua, perlu adanya kerja sama dengan media massa, agar menghadirkan pemberitaan yang obyektif dan tidak serta-merta ikut-ikutan memviktim agama tertentu begitu kekerasan terjadi dan memblow up nya secara besar-besaran demi mengejar oplah. Selain itu Islam harus berani memperkenalkan diri di tengah media Barat. Hal ini penting agar Barat mengetahui the real Islam dan bukan Islam versi mereka.

Ketiga, perlu dilakukan dialog antara Islam dan Barat. Bukan hanya dialog yang berkaitan dengan masalah sosial-kemanusiaan tetapi dialog yang menembus wilayah teologis (Akbar S Ahmed. 2002). Hal ini bertujuan agar Islam mengetahui Barat yang sesungguhnya dan sebaliknya agar Barat tidak hanya mengetahui Islam perspektif mereka tetapi juga Islam yang sebenarnya.

Keempat, menuntut pemerintah (dalam konteks Indonesia) untuk menciptakan tatanan sosial yang berkeadilan. Karena kekerasan {termasuk kekerasan yang mengatasnamakan agama} seringkali terjadi sebagai suatu bentuk kekecewaan terhadap ketidak adilan (Azyumardi Azra. 2002).

Akhirnya perlu diyakinkan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan dan melegitimasi segala bentuk kekerasan, pemaksaan dan pertumpahan darah, karena perbuatan tersebut sangat kontraproduktif dengan ajaran Islam yang mengajarkan toleransi, kebebasan, rahmat dan hikmat (QS.2:216). Adapun kekerasan yang diklaim sebagai bentuk terorisme selama ini adalah perbuatan manusianya dan bukan ajaran agama.

Wallahu a’lam bisshawab.

*Penulis adalah mahasiswa FAI-UMM
Sekbid IPTEK IMM Cabang Malang

sumber : alhikmah.com [19.04.2004]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Bloggerized by Blogger Template