Masa Depan Pendidikan Indonesia Antara Harapan dan Kenyataan
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Sekarang zaman telah berubah segalanya diinginkan serba cepat, apalagi di negara seperti Indonesia ini yang memiliki kinerja kerja rendah, proses cenderung di abaikan yang terpenting di prioritaskan adalah hasilnya. Hidup di zaman modern seperti ini segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat. Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Ingin berkomunikasi dengan rekan atau saudara yang bermukim di belahan dunia lain, hanya dengan mengangkat telepon atau akses ke internet. Ingin berbelanja atau memesan makanan tanpa keluar rumah, hanya dengan memesan melalui telepon atau melakukan transaksi melalui situs internet. Ingin transaksi transfer uang, bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa tidak perlu susah-susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat handphone.
Orang-orang sekarang merasa sangat sibuk akan segala tugas dan pekerjaannya, mereka malas direpotkan oleh hal-hal yang ribet dan sepele, maunya serba cepat dan instan. Hadirnya beragam teknologi telah membuat banyak kemudahan dalam banyak hal, dan orang-orang telah di budayakan oleh kemudahan-kemudahan tersebut. Memang hal itu tidaklah salah selama masih dalam koridor-koridor kemandirian, sampai batasan tertentu teknologi dapat kita gunakan untuk mempercepat hal-hal yang bisa dipercepat. Kemajuan teknologi dan tuntutan zaman memungkinkan kita mendapatkan sesuatu serba cepat dan praktis, tetapi tidak asal cepat, Kualitas juga harus tetap terjaga, padi yang dapat di panen selama 3 kali dalam setahun itu bagus, tapi kualitas alami padi yang di panen selama 1 tahun sekali itu masih lebih bagus. Karena hidup yang baik dan sukses itu adalah hidup yang sesuai dengan proses alam, dan menghasilkan kualitas bermutu.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Mendapatkan sesuatu dengan mudah membuat orang enggan bersusah payah. Tidak mau melewati proses alias malas. Yang penting cepat. Bermutu atau tidak, itu urusan nanti. Berorientasi hanya pada hasil sementara proses sudah dianggap tidak penting. Parahnya, “virus” itu sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instan sehingga terjadilah banyak orang melakukan korupsi, punya gelar palsu, beli skripsi, asal lulus, cepat kaya lewat penggandaan uang dan lain sebagainya. Kebanyakan dari mereka berpikir “Kalau memang berat, membosankan dan ketinggalan zaman mengapa kita harus bermutu?” “Kalau ada cara cepat yang memberi hasil, mengapa tidak dilakukan?.” Lebih lanjut, pemikiran-pemikiran dangkal seperti itu seakan-akan telah berakar pada budaya masyarakat saat ini. Sekarang ini tengah terjadi pergeseran nilai di masyarakat, orang semakin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain sekedar untuk mengejar kesuksesannya sehingga ia tak ragu-ragu untuk mengorbankan orang lain.
Pendidikan Cenderung Dibisniskan. Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Promosi perguruan tinggi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak memiliki inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan seolah-olah hanya mengejar gelar untuk kelulusan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan bahkan ada yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi tidak sehat, kondisi pendidikan perguruan tinggi seperti itu sangatlah memprihatinkan.
Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Bahkan ada beberapa PTS yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IPK-nya tidak sesuai yang akan merusak citra perguruan tingginya tersebut. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang berkualitas. Selain itu pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan perguruan tinggi tersebut.
Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru juga nyaris memenuhi halaman-halaman surat kabar. Dua fenomena tersebut ironis. Promosi Perguruan Tinggi untuk menjaring calon mahasiswa sama gencarnya dengan peningkatan pengangguran lulusan. Di sisi lain, perlu dipertanyaan, kualifikasi apakah sebenarnya yang disyaratkan oleh para pencari tenaga kerja untuk lulusan sarjana Perguruan Tinggi sekarang ini ?.
Jawaban yang diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas personal seseorang dan prestasi akademiknya, namun pencari tenaga kerja tidak pernah mengkonkretkan atau menetapkan secara mutlak hal tersebut. Kualifikasi seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering merupakan dugaan para pengelola Perguruan Tinggi daripada pernyataan sederhana dari para pencari tenaga kerja.
Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dalam prakteknya, kualifikasi yang dinyatakan sebagai "paling dicari” oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang paling menentukan diterima atau tidaknya seorang lulusan sarjana dalam suatu peluang pekerjaan yang menarik, tiga kualifikasi kompetensi personal yang biasa menjadi patokan pencari tenaga kerja, yaitu kejujuran, tanggung jawab, dan inisiatif.
Menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses rekrutmen bagi pencari tenaga kerja sekarang yakni memiliki kemampuan kompetensi dan diri pribadi yang unggul, seperti mampu bekerja sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan. Namun, meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan.
Di sisi lain, reputasi institusi Pendidikan Tinggi yang antara lain diukur dengan status akreditasi program studi sama sekali tidak termasuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan sarjana oleh para pencari tenaga kerja.
Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja mengabaikan bidang studi lulusan sarjana. Kesesuaian kualitas pribadi seseorang dengan sifat-sifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima atau tidaknya seorang lulusan Perguruan Tinggi. Misalnya, posisi sebagai kasir bank menuntut kecepatan, kecekatan, dan ketepatan. Maka, lulusan sarjana dengan kualitas ini punya peluang besar untuk diterima meskipun latar belakang bidang pendidikannya tidak sesuai.
Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting diperhatikan oleh pengelola Perguruan Tinggi untuk mengatasi tidak sesuainya antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja. Jika perbaikan dalam sistem seleksi mahasiswa adalah dimaksudkan untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya secara faktual, dan perhatian terhadap kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan dalam proses pengolahan kompetensi dasar di Perguruan Tinggi, apabila untuk itu semua, kerja sama Perguruan Tinggi dan dunia kerja sangat diperlukan, sehingga akan terjadi keselarasan dan keseimbangan diantara keduanya yang nantinya dapat memberikan solusi dan perbaikan atas rendahnya kinerja kerja yang ada di negeri ini.